• Jelajahi

    Copyright © LIPUTAN KUDUS
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Menu Bawah

    Teater NSA, SMP 3 Satu Atap Gebog, " Being And Time" Dalam Lakon "Liang Langit"

    LIPUTAN KUDUS 2
    11/04/24, 13:42 WIB Last Updated 2024-11-04T06:42:48Z

    LiputanKudus.id. Kudus. Mengutip dari pemikiran Being and Time (1927), salah satu karya filsafat paling penting dari abad ke-20, ditulis oleh filsuf Jerman Martin Heidegger. Dalam karya monumental ini, Heidegger mengeksplorasi pertanyaan mendasar tentang “being” atau “keberadaan,” yaitu apa artinya ada. Karya ini tidak hanya memperkenalkan cara baru untuk memikirkan eksistensi manusia tetapi juga memberikan dasar untuk banyak pemikiran filosofis selanjutnya, termasuk eksistensialisme, hermeneutika, dan fenomenologi.


    Heidegger menulis Being and Time dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan utama filsafat yang sering diabaikan: apa itu “being”? Alih-alih fokus pada pertanyaan metafisik yang umum seperti apa substansi dari segala sesuatu atau bagaimana kita mengetahui dunia, Heidegger ingin memahami dasein—istilah Jerman yang dia gunakan untuk menunjukkan eksistensi manusia sebagai makhluk yang sadar dan berada di dunia.



    Heidegger percaya bahwa filsafat Barat sejak Plato telah melupakan pertanyaan mendasar ini dan lebih tertarik pada konsep-konsep abstrak yang tidak terkait dengan pengalaman hidup manusia. Oleh karena itu, Being and Time adalah usaha untuk menghidupkan kembali pertanyaan tentang keberadaan dengan fokus pada keberadaan manusia di dunia yang nyata.


    Dasein secara harfiah berarti “ada di sini” atau “keberadaan di sana,” istilah ini untuk merujuk pada eksistensi manusia yang sadar dan terlibat dalam dunia. Manusia bukanlah entitas yang terpisah dari dunia yang diamati, melainkan berada di dunia secara langsung, berhubungan dengannya, dan membentuknya melalui tindakan, keputusan, dan pemikiran mereka.


    Dasein unik karena sadar akan keberadaannya sendiri dan dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan yang belum terealisasi, termasuk kematian. Manusia tidak hanya “ada” seperti objek lain di alam semesta, tetapi juga selalu terlibat dalam proses menjadi dan menafsirkan diri mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka.


    “ Hubungan antara eksistensi dan waktu. Bahwa untuk memahami keberadaan manusia, kita harus memahaminya dalam konteks waktu. Manusia adalah makhluk yang eksistensinya selalu terkait dengan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Yang digambarkah melalui pintu - pintu lorong waktu. Kita tidak dapat memahami siapa kita tanpa memperhitungkan sejarah dan pengalaman masa lalu, serta harapan dan kecemasan tentang masa depan. “ ungkap Marini Nur selaku pembina dan kesiswaan SMP 3 Satu Atap Gebog.



    Heidegger menyebut struktur waktu ini sebagai “temporalitas.” Bagi manusia, keberadaan adalah proses yang terus berkembang dalam waktu, dan kesadaran bahwa hidup ini terbatas—adalah bagian mendasar dari bagaimana kita memahami eksistensi kita. Kesadaran inilah yang membuat manusia terus-menerus merencanakan dan membentuk masa depan mereka.


    Dalam Being and Time, Heidegger memperkenalkan konsep authenticity (autentisitas) dan inauthenticity (ketidaktulusan). Autentisitas merujuk pada cara hidup di mana seseorang menerima dan menghadapi kenyataan hidup, termasuk nasib hingga kematian, dengan cara yang jujur dan penuh tanggung jawab. Hidup secara autentik berarti menyadari bahwa kita memiliki keterbatasan dan tanggung jawab untuk membuat keputusan tentang bagaimana kita ingin hidup.


    Sebaliknya, ketidaktulusan terjadi ketika seseorang hidup dengan mengikuti norma-norma sosial secara pasif atau dengan menyangkal fakta keberadaan mereka sendiri, terutama kenyataan bahwa hidup mereka terbatas oleh waktu. Dalam hidup yang tidak autentik, orang cenderung bersembunyi di balik rutinitas, ekspektasi sosial, atau kesenangan duniawi untuk menghindari menghadapi pertanyaan eksistensial yang lebih dalam.


    “ Heidegger menyatakan bahwa kebanyakan manusia hidup dalam kondisi ketidaktulusan, mengikuti arus kehidupan tanpa secara sadar mempertimbangkan pilihan mereka atau arti keberadaan mereka. Hidup yang autentik memerlukan keberanian untuk menghadapi keterbatasan kita, terutama kematian, dan mengambil kendali penuh atas hidup kita. “ ungkapnya.


    Keberadaan-menuju-nasibya.” Bahwa kesadaran akan takdir adalah aspek fundamental dari keberadaan manusia. Tidak seperti objek mati atau makhluk lain, manusia memiliki kemampuan untuk memahami bahwa mereka akan mati, dan kesadaran ini memberi bentuk pada cara mereka hidup. 


    “ Menghadapi nasib dengan jujur memungkinkan seseorang untuk hidup secara autentik. Sebaliknya, menyangkal nasib atau mencoba melarikan diri dari kenyataan mengarah pada ketidaktulusan. Dengan menerimanya sebagai bagian dari eksistensi kita, kita dapat hidup dengan penuh makna dan bertanggung jawab. “ tuturnya.


    Heidegger juga memperkenalkan konsep “Das Man,” yang secara harfiah berarti “seseorang” atau “orang lain.” Dalam konteks Being and Time, “Das Man” merujuk pada kecenderungan manusia untuk hidup secara tidak autentik dengan mengikuti norma-norma dan harapan masyarakat tanpa mempertanyakan. Ketika kita hidup di bawah pengaruh “Das Man,” kita kehilangan individualitas dan kebebasan untuk membuat pilihan hidup yang otentik.


    “ Kehidupan sehari-hari sering kali membawa kita ke dalam rutinitas dan konvensi sosial yang membuat kita terpisah dari pemahaman kita yang lebih dalam tentang diri kita sendiri dan makna eksistensi. Heidegger melihat ini sebagai bentuk “kejatuhan” ke dalam ketidaktulusan, di mana kita hidup sesuai dengan apa yang diharapkan dari kita oleh orang lain, alih-alih mengikuti panggilan eksistensi kita yang sejati. “ tuturnya


    Latar belakang panggung atau stage setting dalam sebuah drama adalah elemen penting yang menciptakan suasana dan menggambarkan dunia di mana aksi berlangsung. Secara fundamental, latar belakang panggung berfungsi tidak hanya sebagai hiasan visual, tetapi juga sebagai medium yang menyampaikan makna, memperkuat tema, dan membantu penonton memahami konteks sosial, budaya, dan emosional dari sebuah drama. 


    NSA menggunakan latar belakang ruang dalam diri Langit. Digambarkan melalui tokoh langit. Dengan maksud memberikan pemahaman terdekat lingkungan dan dirinya. Sebab dari cermin itulah  kita mengenal diri dan keberadaan kita. Menjadi identitas masyarkat yang kompleks.


    Melalui konsep ini, autentisitas, mencoba memperkenalkan pandangan bahwa hidup manusia tidak bisa dipahami tanpa memperhitungkan kesadaran akan waktu, nasib hingga kematian dan keterlibatan kita dalam dunia.


    “ Langit, mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang bagaimana kita hidup, bagaimana kita memahami diri kita sendiri, dan bagaimana kita merespons tantangan eksistensial yang dihadapi manusia. “ ujarnya.


    Dalam usaha penerjemahan Naskah Lakon Liang Langit karya Asa Jatmiko dalam konteks pendidikan siswa penggarap mencoba mendekatkanya dengan peristiwa - peristiwa masa lalu dan kini yang dialami oleh siswa - siswa, yang difokuskan kepada perjalanan hidup tokoh Langit yang diperankan oleh Andre siswa SMP 3 Satu Atap Gebog untuk dijadikan pembelajaran mengenal diri mereka sendiri dalam lingkungannya sebagai siswa yang merdeka. 


    “ Bagaimana mungkin bisa melakukan pengajaran hingga memahkan konsepsi hidup yang adiluhung sebagai tugas untuk membawa anak didik tanpa membebaskan mereka terlebih dahulu? Dalam berekspresi, menggagas hingga menciptakan konsepsi berkesenian mereka sendiri dan menjadi pribadi mereka sendiri dengan segala autentifikasinya “ tutupnya.

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Tag Terpopuler